sebuah doa

Friday, October 28, 2016

Aku membayangkan engkau menari - nari di antara pohon pohon rimba jua yang meranggas dan meringis membuat mu. Kau menengadah membentuk lengkungan tulus di bibir mu, menyapa matahari yang teriknya tidak memburu. Terang, tapi sejuk sekali hatimu. Angin yang membelai rambutmu itu pertanda aku cemburu, ingin juga berada disitu. Atau sekedar sekali - kali menjadi alasan penting di skala prioritas mu.

Aku membayangkan hamparan hijau dan biru menjadi cinderamata yang cukup bagimu, untuk berdiri berada di kala itu dan mengucap nama Tuhanmu. Dekat, tapi tidak terlalu dekat, jaga kakimu untuk tetap berada di langit kaki ibu, agar kau aman di pelukan kalbu dan cengkraman bebatuan di titik kulminasi mu.

Aku membayangkan hamparan sabana, masa depan dan awan yang gemuk membungkus langit, semua tentram di buaian bola matamu. Aku membayangkan lukisan sang Maha Cipta dalam jendela kecil yang nanti akan kau unggah dan buat seribu manusia cemburu. Aku membayangkan aku kebagian secuil cerita seru langsung dari mulutmu, kamis depan, atau sekedar dari laman tautan buatan seorang teman seperjuangan. Aku membayangkan kedapatan cinderamata darimu, untuk membalas malu ku yang tak mendengar bualan mu sore itu dan untuk tetap percaya kau akan pulang, keluar duduk di sudut pilu itu.

Dalam secangkir kopi yang kuseduh malam ini, juga yang kau hirup dan matang matang kau harap akan mengusir lelah kedinginan. Diantara ruang mu dan ruangan ku. Diantara kemungkinan mu dan kemungkinanku. Hadir teman baru yang dinamakan ketidakmungkinan kita

Secarik episode ke sekian di dalam halaman diari dedaunanku, mungkin tidak bisa mencapai penjuru dunia di petamu, tak mampu juga memapah beban dari kerikil di punggung ku yang terseok - seok mencoba mendaki pranata sosial (baca: social climbing), dan sesegeraku meramu keraguan untuk mempertimbangkan berhenti menulis tetang engkau,

Dan membiarkan doaku melangkahi puncak Annapurna.
Suatu saat nanti.

You Might Also Like

0 comments

Powered by Blogger.